Langsung ke konten utama

Kuharap Bisa Lebih Lama Lagi

      
Cerpen Romance kedua yang pernah kutulis dalam hidupku, dan mungkin ini adalah cerpen yang bagus dari segi cerita menurutku dan paling puas ku buat

     Dunia ini terlalu luas untuk kutelusuri, masih banyak hal yang tersembunyi yang belum kuketahui. Dunia ini sungguh merepotkan, namun aku menyukainya meski dengan segala hal yang tidak mengenakan sekalipun. Alam-alam yang diciptakan ilahi, teori heliosentris yang menakjubkan, sungguh mulia dan indah. Itulah mengapa aku tidak keberatan meski dunia itu sangat merepotkan.

      Aku adalah seorang pelajar biasa, namun aku mempunyai sedikit perbedaan saja diantara yang lain. Aku dengan tinggiku, sifat dan kelakuanku menurutku sama sekali tidak masuk akal. Laki-laki tinggi biasanya digambarkan populer, atletik, periang dan lain sebagainya. Aku adalah kebalikannya. Aku hanya seorang pecundang sekolah, kutu buku, bermain permainan musik bergenre rhythm aku bisa dibilang ahli dalam permainan tersebut. "Ahh sekolah lagi ya, baru saja libur kemarin." Aku mengemas barang bawaanku dan langsung bergegas pergi sekolah. "Aku pergi!"
       Aku menuruni tangga dan membuka pintu rumah. Diluar sangat terang, pagi ini sangat cerah! lebih baik tetap dirumah membaca buku, tapi apa boleh buat, ini adalah tanggung jawabku juga.

       Berjalan seperti biasanya pada hari senin sampai sabtu, sungguh melelahkan dan itu nyata, aku harap sebentar lagi libur agar aku bisa bersantai sesuka hatiku tanpa gangguan dari hari yang selalu mengingatkanku akan kewajibanku sebagai pelajar. Aku tersandung sebuah batu dan kacamataku jatuh. "Ahh!" Kacamataku tergelatak dijalan aku mencoba mengambilnya dan tiba-tiba seseorang mengambil kacamataku. "T-terima kasih." 
        "Sama-sama" Suara seorang perempuan dari wujudnya yang buram, sudah kupungkiri ini memang perempuan. Aku memakai kembali kacamataku. "Kau tidak apa-apa?" Dia bertanya kepadaku dengan nadanya yang lembut itu. "Tidak aku hanya tersandung."
         Aku tidak bisa berlama-lama disini, aku harus segera pergi sekolah. "Kalau begitu permisi." 
        "Tunggu." Dia  menghalangiku. "Ada apa?"
         "Aku belum tau siapa dirimu tau. Mari kita saling kenal satu sama lain. Aku Tiara Julia, panggil saja Juli atau Tia. Terserah." 
        Perempuan yang tingginya lebih rendah dariku, dia memang cantik menurutku, rambutnya yang panjang dan hitam legam lalu mengenakan kacamata sepertiku dan dia juga mengenakan baju rajutan yang hanya dikenakan tidak dikancingkan, seragam dari sekolah yang sama. Jika ku perhatikan dia lebih mirip karakter animasi Jepang yang selalu digambarkan sebagai fujoshi atau ketua dewan siswa. 
       "Ahh iya, salam kenal, senang bisa berkenalan. Aku Eriko Febryan, panggil saja Feby, aku lebih enak seperti itu." 
        "Salam kenal Feby. Kalau begitu kita teman dong?"
         "Teman?" Wajahku yang terbelungu serasa ini adalah pertama kalinya aku mendapat teman dan juga orang yang diajak menjadi teman seseorang. Sungguh perasaan yang luar biasa indah lagi sangat menyenangkan. Berita baik bagiku hari ini. "Feby? kau kenapa? hey kau cukup tinggi ya. Aku kapan yah."
        "Hah? oh iya-iya, kita teman. Aku hanya melamun. ya kita teman, kurasa." Aku senyum dengan rasa paksaan dalam hatiku. "Baiklah, karena kita teman ayo kita pergi sekolah bersama. Bagaimana?"
        "Kedengarannya bagus, ayo aku tidak keberatan kok Tia." Dia tertawa kecil.
        "Kau akhrinya menyebut namaku, sepertinya kau kesulitan. Tidak apa, aku mengerti kenapa."
        "Aku hanya tidak menyangka saja bahwa aku bisa mendapat teman saja." Tia melihatku dengan wajah yang penuh rasa penasaran. "Loh kau tidak mempunyai teman?"
        "Tidak... aku tidak mempunyai sama sekali, yang dikelas hanyalah teman sekelas bukan yang benar-benar teman." 
        "Jadi aku adalah versi benar-benar teman yang kau katakan itu? tidakah kau ingat? aku teman sekelasmu tau." Aku melihatnya dengan perasaan terkejut. "Iya, aku tidak tau."
        Aku tidak pernah memperhatikan siapapun dikelas, wajar jika aku tidak tau kehadiran dirimu dalam ruangan yang sama denganku. Jika aku moment ini tidak pernah terjadi, mungkin aku tidak akan mengetahui keberadaannya dikelas. "Ya... tidak apa-apa, aku maklumi. Lagian aku tidak begitu populer juga disekolah maupun dikelas, aku cuma orang yang selalu menyendiri keperpustakaan. Tetapi setidaknya kau sekarang menyadari kehadiranku, Feby." Rasanya pikiranku telah dibaca olehnya.
       Rasanya sedikit aneh dan tak terbiasa aku berjalan pergi sekolah dengan seorang gadis cantik disebelahku, aku tak tau perasaan apa ini. Rasa-rasa tak jelas yang tak karuan ini bisa saja membunuhku secara perlahan.
       Aku dan Tiara berbincang-bincang disepanjang hingga sampai digerbang sekolah. Waktu terasa sangat cepat, aku keasikan mengobrol dengannya, membicarakan banyak hal hingga aku lupa apa saja yang kukatakan ketika di tengah jalan. "Kita sudah sampai lagi ya, waktu terasa cepat bukan?" 
        "Iya, sepertinya kita terbawa arus pembicaraan hingga lupa akan kemana." Sahutku dengan biasa dan tak menunjukkan perasaan grogiku. Dia tersenyum kecil mendengar jawabanku.
        "Kau memang seorang kutu buku ya, kau begitu semangat ketika membicarakan Revolusi Ilmiah ketika Galileo dianggap sesat karena teori heliosentriknya." Dia tertawa kecil. 
        "Tentu saja, itu adalah sejarah yang paling menarik bagiku." Aku membenarkan kacamataku. 
        Entah kenapa aku merasa nyaman ketika berbicara dengannya. Pikiranku yang mendesir kedalam benakku dan menginginkan agar moment ini tidak berakhir. Namun apa boleh buat, kita adalah pelajar yang harus melaksakan kewajiban. Mungkin pulang sekolah aku akan mampir ke perpustakaan. Entah setelah memutuskan mampir, rasanya aku mengharapakan sesuatu. "Oh ya Feb, bolehkah kau menemaniku nanti saat jam istirahat makan siang? Jika ya aku akan mengajakmu." Wajahnya terlihat biasa dan kesannya tidak seperti meminta.
        "Ya aku.....boleh aku tidak keberatan."
        "Benarkah? nada suaramu tidak begitu meyakinkan."
         "Iya benar, lagipula aku tidak ada kegiatan saat istirahat."
         "Baiklah kalau begitu." Dia sepertinya puas dengan jawabanku.
         Sudah sampai kelas lagi ya, aku masih merasa bahwa aku ingin lebih lama lagi bersamanya berbincang dan bercanda tawa.
        "Kau asik juga ya, hehe. Kalau begitu aku ke mejaku dulu. Sampai nanti, Feby." 
        Gadis yang ramah, terasa sangat jarang aku menemui orang sepertinya. Jika dipikir-pikir aku memang jarang berbicara dengan perempuan, terakhir hanya saat kelas 1 SMP itu pun hanya mengembalikan bukuku yang tertinggal dikelas.
        "Anu. Tia." Mulutku bergerak dengan sendirinya.
        "Iya ada apa Feb?"
        "S-senang bisa berteman." Apa yang kulakukan. Dia menyeringaiku. "Kau ini, iya aku juga senang kok."

        Aku berjalan menuju mejaku yang terletak di tengah barisan dekat jendela. Aku melihat kejendela terlihat lapangan yang luas dan juga kelas lain yang sedang melakukan aktivitas pelajaran olahraga. Ini mengingatkanku akan ketidak terbiasaanku dengan aktivitas olahraga, andai aku bisa berolahraga layaknya orang biasa, sepertinya ini akan mengubah banyak aspek kehidupanku sekarang. 
        Masa telah berjalan melewati jam pelajaran, aku merapikan buku tulisku dimeja dan menyimpan pulpen dan pensil mekanikku di saku jas sekolah. "Hey Feby." Aku menoleh kearah suara Tia. "Hey Tia. Sekarang?" 
         "Iya, sekarang. Kalau begitu ayo kita beli makanan dulu lalu ke atap."
         "Atap sekolah? ide bagus."
         "Yakan?" Aku berdiri dan berjalan bersamanya menuju kantin.
          Moment yang entah kenapa membuat hatiku tenang dan merasa terpenuhi serasa bahwa aku telah bisa melewati masa yang membosanku dan berhasil mencapai kepuncak keinginan hatiku. Aku berjalan mengikuti arah jalannya, aku hanya berjalan melamun dan berputar-putar dalam benakku. "Aku pesan roti isi keju dan susu coklat dingin." Aku tersadar kembali ketika mendengarnya bicara. "Feby?"
        "Oh ya ya maaf aku melamun. Aku onigiri dan teh hijau saja." Apa yang kupikirkan, Tia sangat susah menghilang dari kepalaku.
         "Wow kau unik juga ya, apa kau menyukai Jepang? dari makananmu aku bisa menebak kau pasti tertarik dengan kulturnya."
         "Iya aku sangat tertarik. Entah mengapa aku hanya merasa mereka keren, itu saja."
          "Begitu ya." Dia memutar pandangan ke penjaga toko. "Terima kasih! ini uangnya." Dia mengambil barangnya. 
           "Sama-sama. Ini punyamu." Sahut penjaga toko.
            "Ah Terima kasih. Ini uangnya."
            "Sama-sama." Penjaga toko tersenyum. "Ayo kita ke atap Feb."
            "Ayo."

            Kami seperti biasanya menghabiskan moment berjalan dengan berbagi hal favorit dan minat. Aku pastinya sangat tertarik mengatakan apa yang kusukai selama hidupku dan diapun sama denganku, sebuah percakapan yang penuh semangat yang pernah kurasakan dalam hidupku. "Ah kita sampai, anginnya terasa dingin dan menyegarkan bukan?"
            "Iya sepertinya tempat ini memiliki kelebihan." Dia tertawa kecil.
            "Tentu saja kau ini. Tempat mempunyai kelebihan bangunan, haha. Itulah dunia."
            "Semuanya terlihat dari atas sini."
            "Dunia itu penuh dengan cobaan, ujian, kekecewaan, kesedihan dan juga penderitaan." Kami berdua mencicipi makanan milik masing-masing sambil melihat kota dari atas. "Kau ada benarnya, dunia tentu adalah sebuah arti penderitaan itu sendiri."
            "Namun. Dunia itu adalah ciptaan Tuhan yang paling indah dibawah surga. Tempat ini adalah tempat yang layak ditinggali." 
            "Kita memang sudah dirancang untuk hidup disini, di dunia untuk melakukan kewajiban hidup dan menekuni keyakinan dan tujuan." "Seandainya aku bisa hidup lebih lama bersamamu Feb." Aku seperti mendengarnya bicara. "Apa yang kau katakan tadi?"
            "Hah? aku tidak mengatakan apapun kok. Apa yang kau maksud Feb?"
            Aku sangat yakin jika dia mengatakan sesuatu. Itu membuatku sangat penasaran. Tetapi yasudahlah tak perlu kupikirkan lebih dalam lagi. Terlebih lagi aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamanya. "Hey Tia."
            "Iya?"
            "Ini sedikit memalukan untukku katakan, namun aku sangat menginginkannya."
            "Katakan saja Feb. Aku tidak akan menilainya kok." Dia tersenyum.
            "Bolehkah kita terus bersama dan menghabiskan waktu?" Wajah Tiara memerah dan memutar pandangannya. 
            "Curang! harusnya aku yang mengatakan itu!" Tiba-tiba aku memanas dan terkejut.
            "A-apa?"
            "Iya, aku mau terus bersamamu." Dia kembali melihatku dengan pipinya yang dikembungkan. "Janji ya! kau tidak akan meninggalkanku!" Dia menjulurkan jari kelingkingnya. "Iya, janji. Pinky promise!" Aku menyatukan jari kelingkingku dengannya.
            Perasaan yang menyambar dalam tubuhku ketika aku menyentuh tangannya meski hanya jari saja tetapi itu membuatku seperti hidup kembali. "Mari kita habiskan waktu bersama-sama."

          Bell berbunyi seakan mendorongku agar kembali kekelas dan melaksakan kewajiban kembali. Aku dan Tiara berjalan kembali menuju kelas dan duduk dimeja masing-masing. 
          Jam pulang tiba aku dan Tiara pulang bersama dan sangat kebetulan bahwa rumahku dan rumahnya tidak terlalu jauh dan hanya beberapa meter saja. Sepertinya ini adalah takdir yang telah Tuhan janjikan, aku sangat berterima kasih. "Rumah kita dekat ya, jadi aku bisa pulang bersamamu tiap hari yeay!" Tiara terlihat bersemangat. 
            "Iya kebetulan sekali ya."
            "Oh ya Feb. Aku belum bertukar kontak denganmu."
            "Oh iya aku tadinya mau memintamu namun tidak jadi, soalnya terpotong oleh bell."
             "Iya tidak apa-apa, sini handphonemu." Aku memberikan handphoneku.
              Dia memasukkan kontakku kedalam handphonenya. Rasanya cukup membingungkan seolah keinginanku selanjutnya belum terkuak dalam lubuk hatiku. 
              "Nah sudah." Dia mengembalikan handphoneku. 
              "Apa kau tau, bahwa aku ini adalah orang yang agak nekat dan sembrono?"
              "Tidak, baru saja kau mengatakannya."
              "Sekarang aku ingin melakukannya." Tiara memelukku dan menutup matanya.
              "Ti-Tia?? Apa yang kau?" Aku memanas dan wajahku merah dan terkejut.
              "Haha detakmu begitu cepat. Tidak perlu malu kok. Aku sudah bilang bahwa aku ini adalah orang yang nekat." 
              "Kalau begitu..........." Tanganku mendorongnya dari belakang dan mendekatkanku dengannya lebih erat. "Kau hangat ya Feby."
               Tubuhnya yang kecil ini begitu hangat yang membuatku nyaman, rasanya aku ingin moment ini lebih lama daripada masa itu sendiri. Aku ingin bersamanya. Aku benar-benar ingin, dia telah menanamkan perasaan padaku. Tiara melepaskan tangannya. "Aku menikmatinya, terima kasih. Kalau begitu sampai jumpa besok. Kita mulai kehidupan bersama kita." Dia berpaling dan berjalan menuju rumahnya.
               "Iya aku berharap selamanya." Dia berhenti. "Iya aku...harap... Lupakan! Dahhh!!" 
                Aku menuju rumahku dan berpisah dengan Tiara, dia sangat baik, dan sepertinya dia mempunyai perasaan yang sama denganku. Hah? apa yang kupikirkan aku baru saja bertemu dengannya hari ini! masa aku langsung suka padanya. Lupakan! Aku melepas kacamataku dan melihat kebawah. "Namun jika iya, aku tidak akan menyangkalnya dan menolaknya." 

                Matahari terbit menyapa bumi dan fajar menyingsing hingga pagi datang. Aku bersiap-siap pergi sekolah namun dengan semangat yang berbeda dari biasanya. Hari ini aku sangatlah bersemangat, karena seseorang ada yang menunggu. "Aku pergi!" Aku membuka pintu dan melihat Tiara yang sedang menyender di tembok menunggu kehadiranku. "Oh! Feby! Pagi!!!" 
                "Pagi! Tia." 
                "Ayo kita mulai kebersamaan kita. Aku sangat menantikannya."
                "Iya aku juga." Aku melihat kebawah sedikit malu. 
                "Tidak perlu malu. Ayo!" Dia mengambil tanganku dan menarikku dengan perasaan yang riang. "Hey- Tung- tidak, tidak jadi." Aku pasti akan sangat menikmati ini.

                Hari demi hari, minggu demi minggu yang kujalani bersama dengan Tiara. Aku sangat menikmatinya aku sangat hidup, aku sungguh memang menyukainya, tak bisa ku mengelak lagi. Aku sangat menyukainya. Banyak moment yang sudah kulewati bersama, mungkin akan kusebut hal yang sangat menjadi favoritku.
               Aku dan Tiara pergi ke pasar malam bersama dia selalu kalah dipermainan menembak barang, lalu untuk membuatnya kembali senang aku membelikannya makanan favoritnya, dan itu membuatnya senang kembali. Lalu aku dan Tiara bermain di arkade dia sangat hebat aku tidak bisa mengalahkannya, dia terus menang di permainan Tekken. 
               Dia memberiku gantungan kunci yang berpasangan dia memberiku dengan wajah malu yang imut haha itu adalah barang yang akan ku jaga terus. Aku mampir ke perpustakaan dan dia pun juga sama lalu membaca buku bersama dan berbagi rekomendasi buku, dia sangat suka filsafat.
                Kami tidak berpacaran namun banyak orang disekolah membicarakan rumor dan gossip bahwa kami memiliki hubungan. Aku sedikit terganggu namun tak bisa aku tolak juga, karena aku menyadarinya sendiri. Dia selalu memegang tanganku secara tiba-tiba lalu ketika aku berinteraksi dengan perempuan lain dia selalu menatapku dengan wajah marah dan cemburu. "Kau jangan bicara dengan siapapun kecuali aku!" 
            "Kau kenapa?" 
                Dia imut sekali ketika sedang marah, dia selalu possesif meski kami tidak memiliki hubungan apapun.
                Dimanapun kami berada, di sekolah, di taman, di rumah ketika bermain kerumah, di jalan, dimanapun, kami tidak pernah berpisah bak lem super lengket yang menempel diantara kami. 
                Hingga suatu moment dia..... "Aku menyukaimu!"
                "A-a-apa?"
                "Dari sebelum kita bertemu aku selalu memperhatikanmu dan aku sudah menyukaimu Feby." Wajah Tiara memerah.
                "Tiara, aku senang sekali." Dia melihatku. "Kau mempunyai perasaan yang sama padaku. Iya aku menyukaimu juga Tiara." Tiara terkejut dan memelukku erat-erat. 
                "Aku sungguh menyukaimu. Tidak aku mencintaimu namun......" Dia mengeluarkan air mata. "Tiara?"
                "Maafkan aku, aku sangat meminta maaf! maaf aku tau kau tidak akan menirima namun..... hidupku tidak akan bertahan lama." Aku terkejut dan seketika rasa takutku menyerang. 
                "Aku diagnosa memiliki penyakit jantung. Ritmeku tidak berturan, aku sangat ingin bersamamu sangat lama! aku tidak ingin meninggalkanmu. Namun aku yang harus meninggalkanmu karena penyakit sialan ini." Aku memeluknya lebih erat dan menangis.
                "Dokter tidak bisa menangani ini, maafkan aku Feby. Dokter mengatakan waktuku tidak akan lama lagi, hanya tersisa beberapa minggu lagi." Aku mengelusnya dari belakang. "Tiara.......Sejak kapan kau memiliki penyakit ini?"
                "Sebelum kita kenal."
                "SEHARUSNYA KAU MENGATAKAN ITU LEBIH AWAL!!!" Aku membentaknya dengan rasa sedih yang tak tertolong. "Aku tidak ingin meninggalkanmu, aku kira aku akan menghabiskan sebagian hidupku bersamamu selamanya. Aku sudah berharap banyak tapi semua itu hancur."
                Langit oranye berubah menjadi gelap dan bulan mulai melihat kami. Kabar duka yang sangat menggemparkan aku tidak tau apa yang harus kulakukan, dia akan pergi meninggalkanku beberapa minggu lagi. "Feby Jika aku meninggal dan tiada aku ingin mengatakan kau ingat dengan ini."
                "Katakan saja."
                "Ketika aku pergi, jangan lupakan keyakinanmu, tujuanmu dan juga mimpimu dan yang paling penting jangan lupakan aku. Aku ingin selalu berada disampingmu jika aku bisa hidup lebih lama, mungkin kita akan menjadi pasutri haha. Keinginanku adalah jangan lupa kewajibanmu sekolah, makan yang teratur, tidur yang teratur, capai cita-citamu jangan berputus asa dan sedih merenung karena ketiadaanku dalam hidupmu. Percayalah bahwa aku akan selalu menunggumu diatas sana di tempat yang lebih baik." 
                "Oi jangan mengatakan hal seperti itu.... kau membuatku rapuh tau."
                "Aku tau. Tapi itu kebenaran, aku hanya ingin itu saja. Itu wasiatku." Aku memasukan jariku ke sela jarinya. "Feby."
                "Aku tau." Aku menciumnya dengan penuh rasa cinta dalam hatiku yang ketakutan akan kehilangan.
                Bibirnya yang lembut dan rasanya hangat membuat hatiku semakin berdebar. Aku melepaskannya. "Tiara. Bolehkah aku menghabiskan waktuku bersama dan tinggal bersama sampai akhir hayatmu?" Tiara terkejut lalu tersenyum. "Iya boleh, lagipula kita sudah menjadi pasangan, tentu saja." 

                 Aku dan Tiara hidup bersama dirumahnya, orang tuanya tidak ada karena mereka sudah tau bahwa Tiara tidak lama lagi akan meninggal, dia mengatakan dikuat melihat putri kesayangannya akan meninggalkan mereka, jadi mereka akan pergi meninggalkannya saja dan hanya akan mendatangi pemakaman saja. Dan membiarkan Tiara melakukan hal yang dia mau selama masih bisa hidup, yaitu dia menginginkan bersamaku, karena orang tuanya yang begitu keras padanya dan melarang mempunyai pacar atau pasangan dan sekarang adalah kesempatannya.
                Aku tidur di ranjang yang sama dengan Tiara setiap malam. Tiara selalu memelukku setiap kali tidur. Di sekolah pun dia sama, dia lebih nekat daripada biasanya, dan sangat menempel padaku mau dikelas atau dimanapun. 
                Aku selalu tidur dipangkuannya dan juga menyender setiap saat karena aku tau bahwa menahan keinginan adalah hal yang sia-sia untuk sekarang. Aku harap aku bertemu dengannya lebih awal. 
                 Kami berdua menghabiskan waktu lebih sering, aku membatalkan semua jadwalku dan memilih bersamanya. Aku memberinya semua pengalaman yang ingin dia dapatkan, semua kulakukan demi dirinya. Sungguh egois namun itulah yang bisa kulakukan.
                Setelah 2 bulan lamanya aku tinggal bersamanya dan masa yang tidak kuinginkan akan datang telah tiba. Saat aku menemaninya menulis kata-kata, kalimat, gagasan terakhirnya. Tiara...... "Feby Aku mencintaimu, selalu! terima kasih telah menemaniku selama ini. Aku sangat senang, kita sudah melewati waktu bersama selama 1 tahun. haha."
                "Aku juga mencintaimu Tiara, meski aku masih tidak bisa menerima kepergianmu, tetapi setidaknya aku siap untuk memikul rasa sedihku."
                "Baguslah kalau begitu, aku harap aku bisa hidup lebih lama."
                "Aku juga berharap seperti itu." Aku mendekati Tiara dan menciumnya.
                Kali ini lebih aggresif daripada biasanya, lidahku bertemu dengannya. Sudah seperti nafsuku yang telah menguasaiku. Aku melepaskan bibirnya dan mengusap wajahnya. "Terima kasih, Eriko Febryan sayang! Aku selalu mencintaimu!"
                "Aku juga, Tiara Julia sayang. Aku selalu mencintaimu." Aku memeluknya hingga beberapa menit kupeluk dia erat-erat. Tubuhnya melemah "Selamat tinggal." Lalu jantungnya berhenti berdetak. Aku tetap memeluknya dengan genangan air mata yang terus keluar deras membasahi pundaknya. "Mengapa......? mengapa? Aku tidak mau melepaskannya.....Tiara...." 

               Malam itu aku diam menyendiri dikamar Tiara terus berduka atas ketiadaanya, dia sudah meninggal. Aku menangis tak henti-henti dan tak akan bisa berhenti. Tubuh Tiara ku diamkan di sofa sampai orang tuanya datang kerumah ini. Aku mendengar bell rumah aku langsung membukakan pintu untuknya. "Mana anakku Tiara????" 
                "Paman, bolehkah aku memeluk kalian?" Mereka dengan segera memelukku.
                "Aku...tidak bisa tidur.....aku terus memikirkan Tiara, aku tidak ingin dia pergi, aku masih tidak terima!" 
                 "Kami mengerti kau sangat mencintainya, kami pun sama, dia adalah anak satu-satunya kami. Kami minta maaf padamu nak."
                 "Kalian tidak perlu. Mari ikuti aku." Aku memimpin mereka dan menyalakan lampu dan langsung memperlihatkan tubuh Tiara di sofa tak bernapas. 
                  Mereka berduka dan ibunya yang menangis sangat kencang, aku tidak tau harus berbuat apa, aku hanya diam dan masih menangis. Aku ingat apa yang Tiara katakan...."
Dunia itu penuh dengan cobaan, ujian, kekecewaan, kesedihan dan juga penderitaan."..... "
Namun. Dunia itu adalah ciptaan Tuhan yang paling indah dibawah surga. Tempat ini adalah tempat yang layak ditinggali."
                Aku berjalan menuju pintu keluar rumah dan menuju taman yang sering aku dan Tiara singgahi dan duduk bersama, aku duduk dikursi yang sering aku duduki dan mengenang moment-moment yang telah kulewati. "Hore!! aku menang lagi! kapan kau menang Feb?!!" "Ah sial target itu susah sekali!" "Feb, boleh tidak aku berbagi buku, aku kelupaan." "Feby!!!!" "Hey kau terlihat imut tanpa kacamata itu." "Woi Feby! kerjakan pr mu!" "Besok ujian tau! jangan males-malesan!" "Ahahahah! kau aneh mana bisa saturnus menggantikan bumi, Galileo bisa marah jika dengar ini." "Feby.....Kau jangan lihat perempuan lain!" "Ahahaha! Wajahmu! ahahahaha semuanya putih!" "Feby aku bete tadi gurunya ngeselin!" "Es krimku jatoh....." "Hey!!! Jangan ninggalin gitu Feb!" "Lihat kucingnya mirip banget tau sama wajahmu Feb." "Ngomong-ngomong soal alam aku jadi inget kata Plato bahwa teknologi adalah perusak alam lalu Aristoteles berpendapat bahwa teknologi adalah alat yang tidak bisa alam lakukan dan demi melawan teknologi adalah teknologi itu sendiri. Sangat bermakna bukan?" "Ihhhh Imut banget pandanya!" "Kau ini Feb, sangat menempel kepadaku." "Sudah-sudah anak baik." "Ayo! lempar bolanya!"
                Air mataku kembali berlinang, aku terus-terusan menyebut namanya. Aku harap waktu bisa kuulang kembali. Jika aku diberi pilihan antara hidup kaya raya, hidup jauh lebih baik dan seorang pengusaha besar dan hidup biasa, penuh penderitaan, dan juga penyesalan dan bertemu denganmu aku lebih memilih pilihan kedua meski aku punya kesempatan akan di hidupkan kembali. Aku hanya ingin bersamamu.
               Keesokan harinya aku dan orang tuaku dan orang tua Tiara menjemput Tiara ke pemakamannya. Aku menggenggam bunga anyelir putih dan menyimpannya diatas kuburannya. "Bunga apa itu nak?" Tanya ayah Tiara.
               "Itu adalah bunga kesukaannya, yang tertulis jelas di wasiatnya, dia menginginkannya." 
               "Kau sangat baik ya nak. Jika Tia hidup lebih lama kami pasti sangat setuju untuk kau menikahinya." 
                 "Terima kasih, aku merasa terhormat."

                  Rasa duka kehilangannya masih terpendam dalam diriku, aku sudah menangisinya selama 1 minggu lamanya, aku masih tidak terima atas kepergiannya. Namun meski begitu aku tidak boleh lengah, aku tidak boleh hancur dan rapuh karena hanya kepergiannya. Aku ingin mewujudkan keinginannya yang diteguhkan padaku. 
                  Aku berjalan dengan rute biasa yang kulewati bersama Tiara setiap harinya, aku melewati banyak destinasi yang telah kuhabiskan waktuku bersamanya. Tiara sangat hebat, dia membuatku menghabiskan waktu di setiap sudut kota, membuatku pergi kemanapun akan selalu ingat dengannya. Sebuah kisah diriku yang sangat pedih sekaligus paling menyenangkan. Tiara Julia. Aku selalu mencintaimu, selalu.

Credits
Writer - Muhammad Faris Al-Azhar
References -  OMORI, A Space for The Unbound
Song References - See you tomorrow - OMORI, Kyu-kurarin - Iyowa/Kafu, everything you are - Hindia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

幼なじみ

Cerpen Romansa yang pertama kutulis dan aku sedikit kurang puas dengan ini.          Aku adalah seorang pemalu dan pendiam, orang-orang memanggilku aneh karena aku tidak berinteraksi layaknya orang biasa dan juga tampangku yang seperti kutu buku. Aku memang menyukai buku dan aku suka membaca, bukan berarti itu menjadikan ku seorang kutu buku. Aku selalu iri terhadap orang lain yang memiliki teman dan hidup tenang.         Namaku Junia Miko, dan saat itu aku masih berumur 7 tahun, aku masih SD. Aku tinggal di Jakarta bersama orang tuaku. Hobiku adalah membaca buku dan menggambar aku juga lumayan suka mengamati sesuatu           Suatu hari aku bertemu seorang laki-laki yang baik dan berkacamata sepertiku, tapi mungkin dia adalah kebalikannya dari sifatku yang introvert . Dia begitu cerah seperti alumunium diarahkan ke sinar matahari. Aku bertemu dengannya saat didepan gerbang sekolah dimana a...

Entah Kemana Aku Pergi

Puisi pertama yang pernah kutulis dalam hidupku. Puisi ini mengenai seseorang yang sedang mencari jalan keluar dari kehampaan, tak ada harapan maupun cita-cita. Puisi ini menggambarkan nalar seseorang yang tersesat dalam ketidak pastian, namun dia mencoba mencari jalan dan akhirnya menemukan jawaban yang tengah dia cari. Berjalan mengarungi jalan sepi yang kulalui Entah apa yang akan menungguku di ujung sana Masa seakan terhenti seiring ku mengurai yang  ada disana Entah kemana aku pergi Setiap langkah yang kulalui terdengar begitu nyaring Detik-Detik yang kulalui terdengar gema yang tak begitu ku mengerti Gagasan-Gagasan dalam benakku yang begitu miring Entah kemana jalan ini membawaku pergi Merasakan sebuah desir yang akan menyapaku di ujung sana Berjalan mendekati desiran yang seakan membawaku pergi Ujung yang tertutup hanya sunyi yang ada Kehilangan arah bak ruangan yang kehilangan isi Riuh menggema dalam pikiranku Bisikan semesta menyentuh nalarku Langkahku membalik ...